Minggu, 30 Juni 2013


Sebuah Renungan dari Kisah Bill Shankly

Para pecinta liga Inggris pasti kenal dengan sosok Bill Shankly. Tanpa Shanks, Liverpool FC belum tentu dapat menjadi  sebuah klub besar seperti kita tahu sekarang.  Shanks menjadi manajer The Reds pada Desember 1959, pada saat The Reds terpuruk di  papan bawah divisi 2 liga Inggris dengan kondisi manajemen dan sarana yang sangat buruk. Dengan kondisi The Reds saat itu, pada awalnya Shanks sempat merasa membuat keputusan yang salah dengan kepindahannya ke Liverpool FC. Di bawah kepemimpinannya The Reds naik ke divisi utama pada musim 1961-62 dan dengan cepat merebut juara pada musim 1963-64. Di masanya, Shanks membawa The Reds ke zaman keemasannya dengan menjuarai  3 kali liga Inggris, 4 Charity Shield, 2 piala FA, dan 1 piala UEFA. Shanks pensiun dari Liverpool FC pada 12 Juli 1974 dan meninggal karena serangan jantung  pada 29 September 1981, tetapi kebesarannya masih dikenang hingga saat ini. Berbagai tribute diciptakan untuk mengenangnya diantaranya di Anfield Stadium terdapat Shankly Statue dan Shankly Gates.



Kepemimpinan, sebuah hal layak dapat ditiru dari sosok Bill Shankly. Dalam kepemimpinannya sebuah keputusan yang dibuat oleh shank dapat mengejutkan dan membuat orang lain meragukan keputusan itu. walaupun dengan banyaknya suara-suara tidak setuju, Shanks tanpa ragu-ragu tetap kukuh pada pendiriannya untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya. Misalnya saat shanks memutuskan untuk melepas 24 pemain Liverpool FC di awal kedatangannya. Siapa yang dapat menyetujui keputusan seorang manajer baru dalam memecat 24 orang pemain lama di timnya. Seorang pemimpin memang seharusnya tidak boleh ragu dalam mengambil keputusan. Pendapat orang lain dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, tetapi tidak boleh menggoyahkan pendirian apabila sikap sudah diambil. Karena apa yang menurut orang lain benar, belum tentu benar dari sudut pandang yang berbeda.



Dengan sejarah kebesarannya, Shanks tetaplah hanya manusia biasa, keputusan yang diambilnya tidak selalu tepat. Misalnya pada saat memimpin klub Grimsby Town, karena loyalitasnya kepada pemain tua Shanks melupakan pentingnya regenerasi pada tim sepakbola, yang pada akhirnya mengakibatkan klub tersebut terpuruk. Sebagai seorang pemimpin, membuat keputusan yang salah itu wajar. Suatu kegagalan dapat menjadi sebuah pelajaran berharga, agar kegagalan yang sama dan kesalahan-kesalahan lain tidak terjadi. Proses pembelajaran dari kegagalan ini lah yang mulai terlupakan oleh pemimpin-pemimpin kita saat ini, sehingga kasus korupsi seolah-olah menjadi penyakit menahun bangsa ini. Dengan diilhami kegagalannya di Grimbsy Town, Shanks dapat membentuk The Reds menjadi salah satu klub besar dunia.

Seseorang mengenang Shanks bukan karena kisahnya dijelaskan di buku pelajaran sejarah, dedikasi dan kecintaannya kepada kepada The Reds dan sepakbola lah yang mengilhami setiap orang yang mengetahuinya. “Liverpool was made for me and I was made for Liverpool” dan “some people believe football is a matter of life and death, I can assure you it is much, much more important than that” adalah 2 diantara ucapan Shanks yang masih menggema saat ini. Pemimpin akan dapat menjadi lebih bijaksana apabila dia dapat mendedikasikan dirinya dan menumbuhkan kecintaan kepada apa yang dipimpinnya. Hal ini akan menumbuhkan sense of belonging yang membuat setiap keputusan yang diambil adalah kebijakan yang terbaik dan bukan merupakan kepentingan individual saja.



Apabila setiap orang yang mengetahui kisah Bill Shankly dapat mempelajari apa yang dilakukannya dan menerapkannya pada diri sendiri, dapat dipastikan akan lahir Shanks-Shanks baru yang dapat menjadi sosok pemimpin yang hebat. Dan seandainya pemimpin-pemimpin negara ini seperti sosok Bill Shankly, penyakit-penyakit menahun semacam korupsi akan dapat segera terobati. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar